Waitatiri: Lulusan Harvard yang Lawan Bullying Lewat Buku & Teknologi

By Admin, 11 Maret 2025

Sunset in the mountains

Keinginan untuk menempuh studi yang lebih tinggi membawa perempuan asal Jakarta, Waitatiri akrab disapa Wai, menggapai mimpinya berkuliah di Harvard, Amerika Serikat, lewat jalur beasiswa. Tak hanya sukses menyelesaikan program magisternya, Wai juga menulis buku tentang bullying yang kini dijadikan kurikulum di Harvard dan beberapa sekolah di Amerika Serikat.

Siapa sangka, perempuan yang kini menjabat sebagai Head of Marketing di salah satu startup di Jakarta ini dulunya adalah mahasiswa Sastra Jerman di Universitas Indonesia. Ketika ditanya alasannya memilih jurusan tersebut, Wai menjawab dengan jujur, "Karena Timnas Jerman! ". Sejak kecil, Wai tertarik dengan bahasa asing, dan akhirnya memilih Sastra Jerman. Setelah lulus pada 2016, ia sempat mengajar bahasa Jerman selama tiga tahun sebelum menyadari bahwa passion-nya lebih condong ke dunia kreatif, seperti penulisan dan pemasaran.

Membantu Lewat "Ponsel untuk Sekolah"

Selain menulis, Wai juga aktif di dunia relawan. Saat pandemi melanda pada 2020, ia tergugah melihat banyak anak dari keluarga kurang mampu yang kesulitan mengakses pendidikan daring. Berangkat dari keprihatinan ini, Wai menginisiasi program "Ponsel untuk Sekolah" yang berhasil mendistribusikan 20 unit ponsel beserta paket data kepada siswa yang membutuhkan. Pengalaman ini semakin membuka matanya tentang pentingnya pendidikan informal bagi anak-anak Indonesia.

Menembus Harvard dengan Beasiswa LPDP

Sunset in the mountains

(sumber : instagram @waitatiri)

Berbekal pengalaman dan kepeduliannya terhadap pendidikan, Wai membulatkan tekad untuk melanjutkan studi ke Harvard, tepatnya di jurusan Learning Design, Information and Technology. Ia hanya mendaftar ke satu kampus dan satu program studi dan berhasil lolos dalam sekali coba. Wai percaya bahwa value yang ia bawa menjadi faktor penting dalam kesuksesannya meraih beasiswa LPDP.

Sebelum melanjutkan studi S2, Wai sempat merasa ragu karena sudah enam tahun fokus bekerja dan tidak aktif belajar. Namun, keinginannya untuk membawa perubahan dalam pendidikan mengalahkan ketakutannya. Setelah diterima di Harvard School of Education, ia mendalami inovasi dalam desain pembelajaran dan mengeksplorasi berbagai metode pendidikan, baik melalui buku, televisi, permainan, maupun aktivitas di luar ruangan. Meski mengalami tantangan dalam beradaptasi dengan sistem belajar yang sangat berbeda dari di Indonesia, ia tetap berkomitmen menyelesaikan pendidikannya.

"The Missing Colours": Buku yang Mengubah Segalanya

Sunset in the mountains

(sumber : instagram @waitatiri)

Saat menyusun proyek akhirnya di Harvard, Wai memilih topik tentang bullying. Ia menyadari bahwa banyak anak di Indonesia mengalami perundungan tanpa dukungan yang cukup untuk pulih. Alih-alih membuat paper akademik, Wai menulis buku anak berjudul "The Missing Colours", terinspirasi dari kisah nyata seorang penyintas bullying di Indonesia.

Buku ini mengisahkan tentang Putra, seorang anak yang merasa kehilangan "warnanya" akibat perundungan. Ia baru bisa menemukan kembali jati dirinya setelah berada di lingkungan yang lebih suportif. Buku bilingual ini mendapat apresiasi tinggi di Harvard dan kini menjadi kurikulum di beberapa sekolah di Amerika Serikat.

Tanpa diduga, buku The Missing Colours menarik perhatian salah satu dosen di Harvard yang menilai isinya memiliki nilai edukasi tinggi. Akhirnya, buku ini dijadikan bagian dari kurikulum Harvard dan beberapa sekolah di Amerika Serikat. Setelah melewati proses penerbitan pada 2023, The Missing Colours resmi digunakan dalam sistem pendidikan di Amerika pada April 2024. Keberhasilan ini semakin memotivasinya untuk menulis buku baru yang masih membahas perundungan, tetapi dengan perspektif lebih luas. Kali ini, ia ingin menyasar remaja dan orang dewasa, mengangkat kisah dari sudut pandang penyintas yang pernah menjadi korban sekaligus pelaku bullying.

Dari Korban Bullying ke Penggerak Perubahan

Tak banyak yang tahu bahwa Wai sendiri adalah penyintas bullying. Pengalaman pribadinya inilah yang membuatnya semakin bertekad menciptakan perubahan. "Saya dulu mengalami bullying di sekolah dan merasa tidak ada buku yang bisa menemani saya saat itu. Sekarang, saya ingin buku ini menjadi teman bagi mereka yang membutuhkan," ujar Wai.

Kesuksesan "The Missing Colours" tidak membuat Wai berhenti. Saat ini, ia tengah mengerjakan buku baru yang membahas bullying dari berbagai perspektif baik dari sisi korban, pelaku, maupun lingkungan sekitar seperti guru dan sekolah. Harapannya, buku ini bisa memberikan pemahaman yang lebih luas tentang perundungan dan bagaimana masyarakat bisa mencegahnya.

Mengembangkan Smartick Indonesia

Selain aktif menulis, Wai juga mengembangkan Smartick Indonesia, sebuah platform belajar berbasis teknologi untuk anak usia 4–14 tahun. Program ini berfokus pada peningkatan literasi numerasi, membantu anak-anak berpikir kritis, serta membangun kepercayaan diri dalam belajar. Dengan metode pembelajaran yang fleksibel, anak-anak dapat belajar dari rumah secara lebih efektif dan mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas. Dedikasinya dalam dunia pendidikan membuktikan bahwa pengalaman pribadi bisa menjadi inspirasi besar untuk menciptakan perubahan bagi generasi mendatang.

"Buku Buat Semua ": Mewadahi Para Penulis

Selain proyek bukunya sendiri, Wai juga menggagas program "Buku Buat Semua", sebuah platform yang menghubungkan penulis dan ilustrator untuk menciptakan buku berkualitas bagi anak-anak. Lewat inisiatif ini, Wai ingin memastikan bahwa setiap anak memiliki akses terhadap bacaan yang edukatif dan inspiratif.

Perjalanan Wai membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja keras, tidak ada batasan bagi seseorang untuk meraih mimpinya. Dari seorang penggemar Timnas Jerman yang mengambil Sastra Jerman, hingga menjadi mahasiswa Harvard dan pencipta kurikulum pendidikan di Amerika Serikat, Wai menunjukkan bahwa keinginan untuk terus belajar bisa membawa seseorang melampaui batas yang sebelumnya dianggap mustahil.

Bagi Wai, perjalanan ini belum berakhir. Masih banyak impian yang ingin ia wujudkan, khususnya dalam dunia pendidikan dan literasi. "Saya percaya bahwa setiap orang punya warna mereka sendiri. Tugas kita adalah menemukan warna itu dan membantu orang lain menemukannya juga, " tutupnya dengan penuh semangat.