‘Sunting’: Pameran tentang Perempuan, Perjuangan, dan Sejarah yang Tak Tertulis

By Admin, 29 Juni 2025

Sunset in the mountains

"Perubahan besar selalu dimulai oleh mereka yang berani melangkah pertama kali." Kalimat ini menyambut pengunjung di salah satu dinding pameran Sunting, sebuah penanda, sekaligus pengingat, bahwa sejarah tidak pernah tunggal. Ia dibentuk oleh banyak suara. Dan perempuan, adalah salah satu kekuatan terbesarnya.

Pameran Sunting, yang dibuka bertepatan dengan Hari Kartini 21 April lalu dan berlangsung hingga Juli 2025 di Museum Nasional Jakarta, mengajak kita menyusuri jejak para perempuan Indonesia yang mengukir sejarah dengan keberanian, gagasan, dan ketekunan. Dikurasi oleh seniman dan akademisi Citra Smara Dewi bersama kurator independen Sabila Duhita Drijono, serta melibatkan tim peneliti dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, pameran ini menyatukan arsip, artefak, hingga karya seni kontemporer menjadi satu narasi utuh tentang kontribusi perempuan dari masa ke masa.

Tiga Zona, Satu Napas Perjuangan

Sunset in the mountains

(Sumber : Konde.co)

Ruang pameran didominasi warna merah dan monokrom. Atmosfer ini tak hanya memperkuat kesan reflektif, tapi juga menghadirkan kekuatan yang diam-diam menyala. Di dalamnya, ada tiga zona utama:

  • Perempuan, Kekuasaan, dan Perlawanan: Menampilkan 14 tokoh perempuan dari abad ke-8 hingga ke-19 yang memimpin, bertempur, dan menorehkan sejarah. Dari Tribhuwanatunggadewi, Sultanah Nahrasiyah, hingga Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati.

  • Perempuan, Penggerak Sejarah: Menghadirkan 29 sosok perempuan dari masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan. Kita melihat nama-nama seperti Kartini, Dewi Sartika, Roehanna Koeddoes, hingga tokoh pers dan kesehatan seperti S.K Trimurti dan Marie Thomas.

  • Perempuan, Pembangun Peradaban: Zona terbesar ini menampilkan 53 tokoh dari berbagai bidang: seni, pendidikan, diplomasi, teknologi, hingga sains. Mereka adalah perempuan yang menyusun masa depan lewat pengetahuan dan keberanian.

Sunting: Lebih dari Sekadar Hiasan

Sunset in the mountains

(Sumber : Konde.co)

Sunting, dalam budaya Nusantara, adalah hiasan kepala perempuan. Tapi dalam pameran ini, sunting menjadi simbol gagasan: tentang martabat, identitas, dan kuasa untuk menata. Layaknya sunting yang memperindah rambut, perempuan Indonesia telah memperindah sejarah dengan cara mereka masing-masing dengan berpikir, berkarya, dan bergerak.

Inspirasi ini juga muncul dari nama “Soenting Melajoe” koran perempuan pertama yang didirikan Roehanna Koeddoes pada 1912. Di saat perempuan jarang mendapat ruang bicara, Roehanna menulis dan memperjuangkan kesetaraan lewat media. Pada 2019, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional jurnalis perempuan pertama yang mendapat kehormatan ini.

Ketika Sejarah Ditulis Ulang oleh Perempuan

Tak hanya menyorot figur individu, Sunting juga menampilkan kekuatan kolektif organisasi perempuan. Mulai dari LBH APIK, Jurnal Perempuan, hingga Kongres Perempuan 1928, yang menyatukan suara lintas latar belakang demi memperjuangkan pendidikan, keadilan, dan hak perempuan dalam perkawinan.

Lewat pameran ini, kita diingatkan bahwa gerakan perempuan bukan sekadar reaksi atas ketidakadilan. Ia adalah pergerakan panjang, penuh pemikiran, perdebatan, dan semangat kebersamaan. Perempuan tak hanya mendobrak batas, tapi juga menyusun ulang arah perubahan itu sendiri.

Lebih dari Masa Lalu, Ini Tentang Masa Depan

Sunset in the mountains

(Sumber : Konde.co)

Sunting bukan hanya tentang nostalgia sejarah. Pameran ini menjadi cermin dan sekaligus kompas. Ia menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai. Bahwa perjuangan hari ini di ruang digital, kebijakan publik, industri kreatif, hingga dapur-dapur rumah tangga semuanya masih bagian dari narasi besar kesetaraan.

Dan di setiap langkah kecil perempuan hari ini, ada jejak langkah para pendahulu yang pernah membuka jalan. Mereka menulis saat dunia tak mendengar. Mereka memimpin ketika dunia tak mengizinkan. Mereka merawat ketika dunia terpecah. Perempuan adalah sunting yang menata bukan hanya rupa, tapi masa depan. Dan pameran ini adalah ajakan untuk mengingat, menghargai, dan melanjutkan perjuangan mereka.