Mengenal Femisida: Kekerasan Berbasis Gender yang Masih Terjadi di Indonesia

By Admin, 16 Juni 2025

Sunset in the mountains

Di tengah derasnya informasi dan berita, kita sering dihadapkan pada laporan-laporan tentang pembunuhan perempuan. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak untuk memahami bahwa di balik setiap kasus, ada fenomena yang lebih dalam dan mengerikan bernama femisida? Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan karena gender mereka, adalah bentuk kekerasan paling ekstrem yang berakar pada ketimpangan kuasa dan patriarki. Di Indonesia, meskipun kasusnya makin sering muncul, banyak yang belum memahami bahwa femisida bukanlah pembunuhan biasa. Ia adalah cerminan dari struktur sosial, budaya, dan hukum yang masih timpang.

Memahami Akar Masalah: Apa Itu Femisida?

Sunset in the mountains

Istilah femisida (femicide) diperkenalkan oleh Diana Russell pada tahun 1976 dan kini diakui secara internasional oleh PBB sebagai indikator serius ketidaksetaraan gender. Femisida adalah pembunuhan perempuan yang dilatarbelakangi oleh kebencian, diskriminasi, atau kekerasan berbasis gender. Ini bukan sekadar akibat konflik domestik, melainkan hasil dari norma sosial yang menganggap perempuan sebagai objek atau subordinat.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 2017 telah memantau fenomena ini dan mendefinisikannya sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan. Artinya, femisida memiliki muatan yang berbeda dari pembunuhan biasa; ia mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau opresi. Femisida bukanlah kematian biasa, melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi baik di ranah privat, komunitas, maupun negara.

Berbagai Wajah Femisida: Kenali Jenis-jenisnya

Sunset in the mountains

Femisida tidak memiliki satu wajah saja. Organisasi internasional dan lembaga nasional seperti Komnas Perempuan mengidentifikasi berbagai jenis femisida, antara lain:

  • Femisida intim: Dilakukan oleh pasangan, suami, atau pacar. Seringkali ini adalah puncak dari kekerasan dalam rumah tangga yang sudah berlangsung lama.

  • Femisida budaya: Terjadi atas nama "kehormatan," adat, mahar, atau keyakinan bahwa perempuan telah "melanggar norma" yang ditetapkan masyarakat.

  • Femisida dalam konflik bersenjata: Perempuan dijadikan target dalam strategi perang, seringkali sebagai bentuk dehumanisasi.

  • Femisida terhadap pekerja seks: Korban kerap tidak dilindungi karena stigma yang melekat pada pekerjaan mereka, membuat mereka rentan.

  • Femisida terhadap perempuan disabilitas: Sering kali dilakukan oleh orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan.

  • Femisida karena orientasi seksual dan identitas gender: Terjadi terhadap lesbian, queer, atau perempuan transgender, menunjukkan kebencian yang mendalam terhadap keberagaman identitas.

  • Femisida dalam penjara: Akibat kelalaian, penyiksaan, atau minimnya layanan dasar yang memadai.

  • Femisida non-intim: Dilakukan oleh orang asing atau pihak yang tidak memiliki hubungan personal, namun termotivasi oleh misogini atau kebencian terhadap perempuan secara umum.

  • Femisida terhadap aktivis perempuan: Terjadi karena aktivitas advokasi mereka dianggap mengancam tatanan patriarki yang mapan.

Data Komnas Perempuan sepanjang 2019 mencatat 145 kasus femisida yang diliput media daring, dengan mayoritas pelaku adalah suami (48 kasus), diikuti oleh teman (19 kasus) dan pacar (13 kasus). Pola yang sering ditemukan adalah sadisme berlapis, di mana korban dianiaya, diperkosa, dibunuh, dan bahkan ditelanjangi, sebuah tindakan yang melucuti martabat korban bahkan setelah meninggal dunia.

Kasus RSHS Bandung: Kekerasan Seksual di Ruang Publik sebagai Wujud Femisida Struktural

Insiden kekerasan seksual oleh dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, menjadi contoh nyata bagaimana femisida tak selalu berbentuk pembunuhan fisik. Kekerasan ini mencerminkan femisida struktural, di mana perempuan menjadi target kekerasan seksual dalam relasi kuasa yang timpang bahkan di ruang publik yang seharusnya aman. Pelaku, Priguna Anugerah Pratama, dokter peserta PPDS dari Fakultas Kedokteran Unpad, memanfaatkan status dan aksesnya untuk melakukan pelecehan terhadap setidaknya tiga perempuan satu di antaranya adalah keluarga pasien. Kasus ini mengungkap lemahnya sistem pengawasan internal rumah sakit dan institusi pendidikan dokter spesialis. Ketika mekanisme pelaporan tidak berpihak pada korban dan tidak ada respons cepat terhadap pelaku, maka kekerasan seperti ini dapat terus terjadi, menjadikannya bagian dari pola femisida yang difasilitasi oleh ketimpangan sistemik.

Mengapa Femisida Terus Terjadi?

Femisida adalah fenomena kompleks yang diperparah oleh beberapa faktor kunci:

  • Ketimpangan relasi kuasa: Patriarki yang mengakar dalam sistem sosial dan hukum memberikan dominasi pada laki-laki, menciptakan lingkungan di mana kekerasan terhadap perempuan sering dinormalisasi.

  • Budaya yang permisif terhadap kekerasan: Korban sering disalahkan atas kekerasan yang menimpa mereka, sementara pelaku kerap kali lolos dari hukuman yang setimpal.

  • Minimnya perlindungan hukum khusus: Di Indonesia, femisida belum diakui sebagai delik khusus dalam KUHP atau UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Meskipun penghilangan nyawa diatur dalam beberapa pasal, motif berbasis gender yang melatarbelakangi tidak menjadi faktor pemberat hukuman.

  • Kurangnya edukasi kesetaraan gender: Baik di masyarakat maupun di lembaga penegak hukum, pemahaman akan kesetaraan gender masih minim, sehingga respons terhadap kasus femisida seringkali tidak komprehensif.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sunset in the mountains

Femisida bukan hanya soal statistik, tetapi tentang nyawa dan martabat manusia. Perempuan tidak boleh lagi menjadi target kekerasan hanya karena mereka perempuan. Untuk mencegah femisida, kita perlu melakukan langkah-langkah konkret dan sistemik:

  • Reformasi Hukum: Femisida perlu diakui sebagai tindak pidana khusus dengan pemberat hukuman berbasis motif gender. Ini akan mengirimkan pesan yang jelas bahwa negara serius melindungi perempuan dari kekerasan ekstrem. Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI dan Pemerintah melakukan pembaruan hukum pidana yang mengatur femisida sebagai pembunuhan khusus atau menjadikannya sebagai alasan pemberat hukuman.

  • Pendidikan Kesetaraan Gender Sejak Dini: Edukasi tentang kesetaraan gender harus dimulai dari usia dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pelatihan khusus juga harus diberikan kepada aparat penegak hukum agar mereka responsif gender dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

  • Kampanye Publik: Perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapus stigma terhadap korban dan membentuk norma baru yang lebih adil gender. Media massa, seperti yang direkomendasikan Komnas Perempuan, harus menyajikan pemberitaan berperspektif korban, menggali bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender, dan mencegah reviktimisasi.

  • Perlindungan Korban yang Kuat: Rumah aman, layanan konseling, dan pendampingan hukum harus diperkuat dan mudah diakses oleh korban kekerasan. POLRI harus menjamin keamanan pelapor dan perempuan yang terindikasi terancam nyawanya.

  • Sistem Data dan Pelaporan Transparan: Diperlukan sistem data dan pelaporan yang transparan agar kasus-kasus femisida tidak tersembunyi atau diabaikan. POLRI harus melakukan pendokumentasian secara nasional tentang pembunuhan perempuan untuk memetakan penyebab, pola, dan pelaku femisida di Indonesia.

Mencegah femisida berarti membongkar akar-akar budaya patriarki, membangun sistem hukum yang responsif gender, dan menciptakan ruang publik yang aman bagi semua. Ini adalah tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan bahwa setiap perempuan dapat hidup dengan martabat dan tanpa rasa takut. Mari bersama-sama menjadi agen perubahan.